Kata jamu berasal dari bahasa Jawa kuno, yaitu jampi atau usodo. Jampi atau usodo memiliki arti penyembuhan menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa. Istilah jampi banyak ditemukan pada naskah kuno, seperti pada naskah Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh dari Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya.
Jamu merupakan warisan budaya bangsa Indonesia berupa ramuan bahan tanaman obat yang mempunyai khasiat/manfaat bagi kesehatan dan telah digunakan secara turun temurun serta dikembangkan dari generasi ke generasi. Jamu menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi, memberi manfaat dan menjadi kebanggan sebagai bagian dari identitas bangsa.
Bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan jamu terdiri dari tanaman herbal yang dapat dijumpai di lingkungan sekitar seperti daun, rimpang, batang, buah, bunga, dan kulit batang. Jamu merupakan salah satu representasi kearifan lokal yang berkembang di masyarakat karena kebermanfaatan minuman tradisional ini masih dipercaya oleh masyarakat dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit tanpa menimbulkan efek samping. Pada tahun 2018 menurut data dari Tribun News, Jawa Timur menduduki peringkat nomor 3 sebagai konsumen jamu terbesar dengan peningkatan sejumlah 17%. Hal inilah yang membuat jamu masih menjadi pilihan masyarakat hingga saat ini. Pemahaman mengenai eksistensi minuman ini penting diwujudkan oleh masyarakat, karena warisan dari nenek moyang adalah jati diri bangsa yang mencerminkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya sejak dahulu kala.
Jamu sendiri memiliki beberapa jenis, mulai dari yang berbentuk kapsul, tablet, sachet, hingga tradisional seperti jamu gendong. Dari berbagai jenis tersebut, jamu tradisional atau yang lebih dikenal dengan jamu gendong masih digemari masyarakat dari bermacam kalangan.
"Apa itu jamu gendong.?"
Jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan (home industry). Jamu ini dijajakan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol. Kemudian, botol-botol ini disusun secara rapi di dalam bakul. Setelah itu, penjual jamu akan menggendong bakul yang berisi jamu tersebut saat berjualan. Itulah sebabnya, jamu ini dikenal sebagai jamu gendong.
Biasanya para penjual jamu gendong memasarkan dagangannya dengan cara berkeliling setiap hari. Penjual jamu gendong kebanyakan adalah kaum hawa. Hal ini karena dahulu tenaga laki-laki lebih diperlukan dalam bidang pertanian.
Hal yang membuat menarik dari jamu gendong adalah cara membawa barang dagangannya, yaitu digendong menggunakan kain batik, jarik, dan sebagainya. Ini adalah ciri khas perempuan Jawa dari dulu, bahkan sampai saat ini. Tidak hanya jamu, dagangan lain seperti pecel, nasi liwet, dan juga aneka jajanan juga sering dijajakan dengan cara digendong.
“Menggendong” memiliki arti dan makna tersendiri. Menggendong identik dengan seorang ibu yang memomong anak kecil. Jadi, perempuan Jawa menggendong barang dagangannya (rezeki) seperti membawa anak kecil yang harus dilakukan dengan lemah lembut dan telaten.
"Sudah ada sejak zaman Kerajaan Hindu-Budhha"
Siapa sangka jamu sudah ada sejak zaman dahulu? Terdapat banyak sekali bukti sejarah yang menyebut bahwa jamu telah ada pada zaman kerajaan Hindu-Buddha. Relief yang menggambarkan pembuatan atau penggunaan jamu ditemukan pada beberapa candi di Indonesia seperti Candi Borobudur, Prambanan, Penataran, Sukuh, dan Tegalwangi.
Selain dari relief candi, jamu juga ada dalam Prasasti Madhawapura peninggalan Kerajaan Majapahit. Dalam prasasti, disebutkan bahwa profesi peracik jamu yang disebut dengan acaraki. Seorang acaraki harus berdoa terlebih dulu sebelum meracik jamu. Ia juga harus bermeditasi dan berpuasa sebelum meramu jamu.
Semua ini harus dilakukan supaya ia bisa merasakan energi positif yang bermanfaat untuk kesehatan. Ritual ini dilakukan karena masyarakat Jawa kuno percaya bahwa Tuhan adalah sang penyembuh sejati.
Awalnya, jamu hanya diperuntukkan bagi kalangan istana kerajaan. Namun lambat-laun akhirnya jamu mulai didistribusikan untuk masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya banyak pedagang yang berjualan jamu secara berkeliling. Laki-laki membawanya dengan dipikul, perempuan membawanya dengan digendong.
Seperti yang telah disebutkan di atas tadi, tenaga laki-laki lebih dibutuhkan di bidang pertanian. Maka dari itu penjual jamu mulai didominasi oleh kaum perempuan yang menjajakannya dengan cara digendong.
Saat ini, jamu tradisional masih sering dijumpai. Hanya saja cara menjajakannya sudah bervariasi, ada yang menggunakan sepeda, motor, ataupun gerobak. Meski berbeda cara menjajakannya, jamu yang dijual masih sama seperti penjual jamu gendong.
Dengan membudayakan minum jamu, kesehatan keluarga terjaga, dan anak-anak dapat tumbuh menjadi generasi yang sehat, kuat, dan cerdas. Menuju Indonesia sehat dan kuat dengan jamu tradisional warisan nenek moyang
Referensi :